Jumat, 10 Januari 2014

UAS 1B Komputer

SOAL B

KIAT SEDERHANA TANGKAL RADIKAL BEBAS     
   
     Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif.Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas.
       Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif.  Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya.  Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida.
         Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi.  Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik.  Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun.
         Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan.  Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai.  Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis).
         Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh.  Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya.
          Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu.  Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.
         Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan.  Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari.  Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari.  Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan.
         Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara  menjaga pola makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari.  Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang.  Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci.
         Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari.  Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam.  Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan.
        Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu.  Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal.  Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.

Artikel ini juga terkait dengan  : 
  1. Ciri dan Tanda Penuaan Dini Akibat Radikal Bebas 

  2. Air Antioksidan Tangkal Radikal Bebas
  3. 10 Jenis Radikal Bebas Ancam Manusia

  4. Jenis makanan,buah dan sayuran yang mengandung anti oksidan
  5. 5 fungsi antioksidan bagi kesehatan  

Selasa, 07 Januari 2014

Zinc Status in Human Immunodeficiency Virus Infection



There is substantial evidence to support an important role for zinc in immune processes. Adequate zinc status is essential for T-cell division, maturation and differentiation; lymphocyte response to mitogens; programmed cell death of lymphoid and myeloid origins; gene transcription; and biomembrane function. Lymphocytes are one of the types of cells activated by zinc. Zinc is the structural component of a wide variety of proteins, neuropeptides, hormone receptors and polynucleotides. Among the best known zinc-dependent hormones/enzymes are Cu, Zn superoxide dismutase, an enzyme component of the antioxidant defense system, and thymulin, which is essential for the formation of T-lymphocytes. In animals and humans, zinc deficiency results in rapid and marked atrophy of the thymus, impaired cell-mediated cutaneous sensitivity and lymphopenia. Primary and secondary antibody responses are reduced in zinc deficiency, particularly for those antigens that require T-cell help, such as those in heterologous red blood cells. In addition, antibody response and the generation of splenic cytotoxic T cells after immunization are reduced. Zinc also inhibits the production of tumor necrosis factor, which is implicated in the pathophysiology of cachexia and wasting in acquired immune deficiency syndrome.
Reading Now, Download Here....

Iron-Deficiency Anemia: Reexamining the Nature and Magnitude of the Public Health Problem


Is There a Causal Relationship between Iron Deficiency or Iron-Deficiency
Anemia and Weight at Birth, Length of Gestation and Perinatal Mortality?1,2
Kathleen M. Rasmussen
Division of Nutritional Sciences, Cornell University, Ithaca, NY 14853.

An extensive literature review was conducted to identify whether iron deficiency, iron-deficiency
anemia and anemia from any cause are causally related to low birth weight, preterm birth or perinatal mortality. Strong evidence exists for an association between maternal hemoglobin concentration and birth weight as well as between maternal hemoglobin concentration and preterm birth. It was not possible to determine how much of this association is attributable to iron-deficiency anemia in particular. Minimal values for both low birth weight and preterm birth occurred at maternal hemoglobin concentrations below the current cut-off value for anemia during pregnancy (110 g/L) in a number of studies, particularly those in which maternal hemoglobin values were not controlled for the duration of gestation. Supplementation of anemic or nonanemic pregnant women with iron, folic acid or both does not appear to increase either birth weight or the duration of gestation. However, these studies must be interpreted cautiously because most are subject to a bias toward false-negative findings. Thus, although there may be other reasons to offer women supplemental iron during pregnancy, the currently available evidence from studies with designs appropriate to establish a causal relationship is insufficient to support or reject this practice for the specific purposes of raising birth weight or lowering the rate of preterm birth. J. Nutr. 131:
590S–603S, 2001.

reading now download here....

EVALUATION OF SUPPLEMENT FEEDING’S PROGRAMME TO CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD



Lina Handayani, Surahma Asti Mulasari, Nani Nurdianis
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta


 In a way to increase status of children less
than five years old nutrition at Puskesmas Mungkid, one of
way was to heal supplement feeding’s programmed (PMT)
children under five years old. To see the successful of PMT
programmed has been needed evaluation to program. The
purpose of the research has to evaluated the development of
extra nutrition programmed for children under five years old
(PMT) at Puskesmas Mungkid. The research need to do
because many malnutricious still founded and also to know
the work of manager to run the programmed with use the
standard technical guidelines programmed legally by healthy
department.

Determinants of Anemia among Preschool Children in Rural, Western Kenya


Eric M. Foote, Kevin M. Sullivan, Laird J. Ruth, Jared Oremo, Ibrahim Sadumah,
Thomas N. Williams, and Parminder S. Suchdev*
Emory University School of Medicine, Hubert Department of Global Health, Rollins School of Public Health, Emory University, Atlanta,
Georgia; Nutrition Branch, Centers for Disease Control and Prevention, Atlanta, Georgia; Safe Water and AIDS Project, Kisumu, Kenya;
and Centre for Geographic Medicine Research-Coast, Kenya Medical Research Institute, Kilifi, Kenya; Nuffield Department of Clinical Medicine, Oxford, United Kingdom.

 Although anemia in preschool children is most often attributed to iron deficiency, other nutritional,
infectious, and genetic contributors are rarely concurrently measured. In a population-based, cross-sectional survey of 858 children 6–35 months of age in western Kenya, we measured hemoglobin, malaria, inflammation, sickle cell, a-thalassemia, iron deficiency, vitamin A deficiency, anthropometry, and socio-demographic characteristics. Anemia (Hb < 11 g/dL) and severe anemia (Hb < 7 g/dL) prevalence ratios (PRs) for each exposure were determined using multivariable modeling. Anemia (71.8%) and severe anemia (8.4%) were common. Characteristics most strongly associated with anemia were malaria (PR: 1.7; 95% confidence interval [CI] = 1.5–1.9), iron deficiency (1.3; 1.2–1.4), and homozygous a-thalassemia (1.3; 1.1–1.4). Characteristics associated with severe anemia were malaria (10.2; 3.5–29.3), inflammation (6.7; 2.3–19.4), and stunting (1.6; 1.0–2.4). Overall 16.8% of anemia cases were associated with malaria,
8.3% with iron deficiency, and 6.1% with inflammation. Interventions should address malaria, iron deficiency, and nonmalarial infections to decrease the burden of anemia in this population.

Reading Now Download Here......

POLA KONSUMSI TERHADAP KEJADIAN OBESITAS SENTRAL PADA PEGAWAI PEMERINTAHAN DI KANTOR BUPATI KABUPATEN JENEPONTO

        Masalah overweight dan obesitas meningkat dengan cepat di berbagai belahan dunia menuju proporsi epidemik. Di Negara maju, obesitas telah menjadi epidemik dengan memberikan kontribusi sebesar 35% terhadap angka kesakitan dan berkontribusi 15-20% terhadap kematian. Obesitas tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi menyebabkan masalah kesehatan yang serius yang dapat memacu kelainan kardiovaskuler, ginjal, metabolik, protrombik dan respon inflamasi (Grundy et al, 2004).

       Faktor risiko asupan gula sukrosa yang tinggi dengan kejadian obesitas sentral
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa konsumsi makanan dan minuman manis dalam hal ini asupan gula sukrosa yang tinggi merupakan faktor risiko obesitas sentral pada pegawai di kantor bupati kab. Jeneponto. Besarnya risiko terjadinya obesitas sentral pada responden dengan asupan gula sukrosa yang tinggi (>50 g/ hari) adalah 4,2 kali lebih besar dibanding dengan responden dengan asupan gula sukrosa yang cukup yaitu ≤ 50 g/ hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Masnar (2010) yang menyatakan bahwa prevalensi obesitas sentral tampak pada responden yang mengonsumsi makanan manis, berlemak, jeroan lebih dari setiap hari atau lebih. Untuk variabel konsumsi makanan manis dan jeroan nilai p= 0,001 dan p = 0,048. Makanan manis meningkatkan berat tubuh dan lingkar perut. Hubungan ini diduga karena kombinasi antara makanan berlemak dengan makanan manis. Makanan manis seringkali kaya lemak (Drapeau et al. 2004).

       Faktor risiko asupan lemak yang tinggi dengan kejadian obesitas sentral
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa banyaknya responden kasus yang memiliki asupan lemak tinggi yaitu >110% AKG adalah sebanyak 28 orang atau sebesar 70% sedangkan responden kasus yang memiliki asupan lemak cukup yaitu 80-100% AKG adalah sebanyak 12 orang atau sebesar 30%. Sedangkan responden kontrol yang memiliki asupan lemak tinggi yaitu hanya 8 orang atau sebesar 20% sedangkan responden kontrol yang memiliki asupan lemak cukup sebanyak 32 orang atau sebesar 80%.

       Faktor risiko konsumsi sayur dan buah yang rendah dengan kejadian obesitas sentral
Konsumsi sayuran dan buah-buahan responden dalam penelitian ini dilihat berdasarkan asupan serat. Tubuh membutuhkan serat. Dalam saluran pencernaan, serat larut mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan bersama tinja dengan demikian makin tinggi konsumsi serat larut (tidak dicerna, namun dikeluarkan bersama feses), akan semakin banyak asam empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh.

Untuk mendapatkan teks aslinya download disini....... :-)